Pelecehan Sejarah Dan Tarjih Muhammadiyah Oleh Warga NU (Zon Jonggol), Aswaja Sarkub


Ini Sarkub atau
yang lebih dikenal dengan Istilah Sarjana Kuburan sudah benar benar
menebarkan bibit Permusuhan kepada sesama umat Islam. Ini terbukti
dengan tulisan tulisan Zon Jonggol yang diarahkan ke Muhammadiyah
sebagai tujuan dan sasaran pelecehan. Zon Jonggol adalah seorang
Jurnalis andalan Sarkub yang sekedar tahu Muhammadiyah, tetapi kemudian
melakukan propagandan dan provokasi, dengan tulisan tulisan yang sengaja
memancing kemarahan “Muhammadiyah”. Zon Jonggol dipelihara oleh Aswaja
dan Sarkub dengan tulisan tulisannya yang dengan sengaja menumpahkan
kekesalannya terhadap umat lain selain NU. Pertama menulis artikel
tentang “Sejarah Muhammadiyah Yang Terlupakan” . Kandungan opini Zon
Jonggol ini seolah benar benar menguasai sejarah Muhammadiyah, padahal
hanya sekedar tahu saja, bahkan menuduh orang orang sesudah KH. Ahmad
Dahlan melakukan kudeta terhadap persyarikatan Muhammadiyah. Yang dapat
di ungkap dalam hal ini.

  1. Zon Jonggol dengan terang terangan menuduh para pelanjut Muhammadiyah telah melakukan kudeta
    terhadap pemikiran KH. Ahmad Dahlan. Padahal perobahan Dalam
    Muhammadiyah Memang suatu keharusan yang harus terjadi, oleh sebab
    Muhammadiyah adalah persyarikatan, bukan per-orangan. Tentu KH. Ahmad
    Dahlan atau Darwis sangat maklum hingga hari kiamat dengan perobahan
    perobahan ormas Muhammadiyah. Hal itu juga karena menjadi harapan KH.
    Ahmad Dahlan , muhammadiyah sebagai ormas Tajdid.

    Muhammadiyah
    Muhammadiyah (Photo credit: Wikipedia)
  2. Zon Jonggol sengaja melupakan sejarah, bagaimana bentuk felterisasi Aswaja yang sebelum ada NU berusaha dengan SI, untuk menghancurkan Muhammadiyah, berkali kali warga Aswaja dengan perintah para kyai melakukan percobaan
    pembunuhan terhadap KH. Ahmad Dahlan. Ini meng-indikasikan memang ada
    tujuan terselubung dari penulis Zon Jonggol, agar sebagai warga
    Muhammadiyah untuk saling menyalahkan, seolah warga Muhammadiyah adalah
    NU yang gampang di fitnah dengan fitnah kacangan .
  3. Zon Jonggol  (Jengkol) tidak tahu kalau Muhammadiyah wadah gerakan yang memang sejak awal menggariskan jalan Muhammadiyah diatas Al-Quran dan Sunah, itu dilontarkan KH. Ahmad Dahlan sejak berdirinya, agar umat Islam kembali kepada Al-Quran dan Sunah. Jadi kalau terjadi perobahan sejarah selama itu memenuhi tajdid Muhammadiyah sudah memang seharusnya berobah, bukan karena kudeta atau hal hal lain yang tidak terlintas dalam pemikiran Muhammadiyah.
  4. Zon Jonggol menempatkan KH. Ahmad Dahlan sebagaiorang yang dirampok oleh generasi pelanjutnya, padahal secara nyata KH, Ahmad Dahlan justru menyuruh generasi mendatang untuk lebih kuat mengikuti arahannya, menegakkan Quran dan sunah. Dalam pernyataan beliau
    dijaman hidupnya terarah kepada umatnya untuk selalu belajar, agara bisa membedakan mana yang benar dan mana yang tidak. Itulah sebabnya Muhammadiyah tidak terpasung sebagaimana di NU , karena memang NU ormas yang memasung umatnya dengan sekedar taqlid belaka, Tentu sangatlah jauh dengan Muhammadiyah yang menempatkan umatnya agar menuntut ilmu dan belajar hingga benar benar terwujud ajaran Islam yang murni. Sedang di NU kebalikannya, memaksa umat berpikir kampungan dg budaya budaya agama
    lamanya, sbelum Islam.
  5. Zon Jonggol menyamakan Muhammadiyah dan
    NU yang monarkhi kekyaian, sehingga dalam pandangan Zon, Muhammadiyah
    membangkang kyainya, jelas pikiran sesat Zon Jonggol mau merusak
    Muhammadiyah dengan gaya NU yang kepriyaian. Muhammadiyah bukan ormas
    statis, tetapi dinamis yang disarka pada pembaharuan. Justru dengan
    mempertahakan hadist hadist sebagai hujjah Muhammadiyah itu merupakan
    penghargaan tertinggi kepada ulama ulama Mazhab manapun, sekalipun
    Muhammdiyah tidak bermazhab. Pada intinya Muhammadiyah bukan ormas
    tempat berlindung mereka yang picik dan taqlid pemahamannya, tetapi
    Muhammadiyah ormas yang memberikan kreatis kepada seluruh aggotanya
    untuk memberikan masukan kepada Muhammadiyah. Jadi bukan tempatnya
    kyainya Zon Jonggol yang sekedar memasung umat menurut paham paham yang
    tidak jelas.
  6. Gerakan Muhammadiyah adalah gerakan islam, yang
    selalu bergerak sesuai dengan cita cita Quran dan Sunah, bukan kompilasi
    fiqih buatan Zon Jonggol dan kawan kawan yang merekayasa ahlussunah
    dengan atas nama Ulama, padahal merusak kedudukan ulama ulam yang
    dijadikan sandaran. Sedangkan Muhammadiyah jika mengatakan tidak
    bermazhab, karena menggunakan sumbernya yang juga dipakai para imam imam
    Mazhab, terlebih imam imam Mazhab tidak mengikat dan tidak pernah
    menuntut pengikutnya untuk mengikutinya. Tidak pernah ada keterangan
    dari Quran dan sunah kalau tidak mengikuti mazhab adalah sesat. tetapi
    yang keterangan kalau melawan Quran dan Sunah dengan pendapat pendapat
    itulah yang sesat. Bila Muhammadiyah dikatakan tidak bermazhab, itu juga
    sejalan dengan keinginan dan cita cita imam imam mazhab yang menolak
    para pengikutnya yang tidak mengenal sumbernya para imam berpendapat. (https://www.facebook.com/notes/zulkarnain-elmadury/haramnya-bermazhab-kepada-imam-empat-menurut-empat-imam/473677312666961)Dalam
    Masalah Tarjih yang menyebutkan bahwa sistim Tarjih itu membangkan
    ulama ulama masa lalu dan keluar dari kebiasaan KH. Ahmad Dahlan, Karena
    tarjih bukan kompilasi fiqi bahtsul masail, yang lebih pada pendapat
    dan ke pendapat. Himpunan putusan Tarjih dan Fatwa fatwa Tarjih
    berangkat dari kemampuan dan kemahiran kalangan tokoh tokoh
    Muhammadiyah. Bahkan mengundang orang luar untuk ikut membicarakan
    Tarjih dalam pengambilan keputusan keputusannya, bahkan mengundang pakar
    pakar dari luar guna mendapat keputusan yang benar, tanpa berupa fiqi
    yang meluas, cukup sesuai dengan teks teks hadist yang dijadikan hujja
    tarjih, itupun memang berdasarkan hadist hadist pilihan. Bakun
    sebagaimana pikiran zon Jonggol yang tumpul otaknya yang seolah benar
    tulisan, dengan pandangan karat yang tertuang dalam tulisannya :http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/12/majelis-tarjih/…Kalau
    dibaca jelas, sebuah oretan tangan orang bodoh yang sok tahu
    muhammadiyah, bahkan mencoba membuat huru hara dalam Muhammadiyah,
    seolah Muhammadiyah gampang terhasut sebagaimana di NU yang membudayakan
    sikap kekerasan terhadap kelompok lain. Dalam hal ini justru membrikan
    gambaran sebagai berikut

    • Zon Jonggol mau menyamakan antara
      Muhammadiyah dan NU sebagai satu kekuatan, padahal sudah dari awal
      dinyatakan oleh KYai Hj  Ahmad dahlan, kalau Muhammadiyah berlandaskan
      Quran dan Sunah. Tidak menganut pendapat mazhab manapun tetapi
      menghargai mazhab. Karena muhammadiyah memandang, sumbernya para imam
      itulah yang wajib  diikuti, bukan mengikuti hasil olah pikiran imam
      selama tidak terdukung oleh keduanya , Quran dan Sunah.
    • Bila
      tidak ada Qunut dalam generasi sesudah Kyai haji Ahmad dahlan, itupun
      karena tidak lepas dari tuntutan Kyai haji ahmad dahlan untuk
      tidkterbelenggu dengan masanya, tetapi harus ada perkembangan yang lebih
      baik di Muhammadiyah. Karena para ulam di Muhammadiyah tidak
      menempatkan paradigma fiqih dan rana fiqih, tetapi pada paradigma Quran
      da Sunah berdasarkan ketelitian hadist hadisrnya. Tidak menjadikan hujja
      seseorang yang mengamalkan ibadah, sekalipun tokoh, selama terbukti
      yang digunakan itu adalah hadist shahi, ini sejalan dengan pikiran imam
      imam Mazhab yang tidak menykai pengikutnya melakukan bid’ah bid’ah
      sesudahnya dengan menyandarkan diri kepadanya.
    • Dalam
      pandangan Zon Jonggol tersebut membuktikan bahwa di seorang yang
      terbelenggu pemikirannya dengan kyai kyai aswaja, yang membimbingnya
      untuk membenci wahabi, dan sekarang juga Muhammadiyah. Sebuah penyakit
      lama NU, ketika masa kapanye partainya menyerang lawan politiknya dari
      masumi, atau ketika NU masih Islam tradisional dijaman sebelum
      berdirinya NU yang dengan Mudah menyamakan Muhammadiyah dengan agama
      diluar Isslam. Zon Jonggol hanya sebuah pigura dari pemikiran NU yang
      kolot dan stati, kini terbukti hanya bisa mendompling nama NU guna
      menghujat Muhammadiya, atau mendompling dalam kekautan Sarkub yang
      memang diarahkan untuk menghancurkan kelompok lain.
    • Pengertian
      ulama contohnya sangat parsial sekali, seolah yang dimaksud ulama itu
      hanya tumpukan fiqih, bukan mereka yang hafal Quran dan Sunah, atau
      sekedar orang mentafshil berbagai bentuk ‘i’rab arab , itu yang disebut
      mengerti agama, padahal tidak sedikit kalangan ahli bahasa arab dunegara
      Arab , ahli bahasa arab tetapi sangat bodoh agama, sebagaimna penulis
      penulis alkitab (taurat dan Injil) berbahasa arab, mereka itu ahli
      nahwu, tetapi untuk berbicara agama islam ya sulitlah. Jadi kalau kata
      “Ulama ” itu hanya disandarkan pada kekolotan berpikir dan parsialisme,
      itu justru meng- kebiri pengertian “ulama” itu sendiri. Gak tahu kalau
      yang dimaksud Zon Jonggol adalah “Ulama fajir” dan abidul jahil, mungkin
      di aswaja tempatnya, disebut fajir karena senang dengan praktek bid’ah.
    • Zon
      Jonggol juga menggambarkan, seolah Muhammadiyah harus sentralistik
      seperti KH, Ahmad Dahlan, yang dulu berqunut dn misalnya taraweh 23,
      sehingga disinilah letaknya kekeliruan besar Zon Jonggol, karena Kyai
      patokannya, bukan Quran dan Sunah. Sedangkan hadist yang dikutip
      Muhammadiyah itu sebagai ralat terhadap kesalahan KH Ahmad dahlan masa
      lalu, bukan kudeta. Karena pakar pakar ilmu hadist di Muhammadiyah itu
      tidak sedikit, bukan pakar kitab fiqih model NU tentunya yang hanya
      mengarahkan NU sesaui penuh dan sentralistik KH Hasyim Asy’ary,
      Muhammadiyah tidak pernah memasung umatnya, bahkan bisa membatah Tarjih
      Muhammadiyah bila terbukti Tarjih Muhammadiyah lemah argumentasina. jadi
      salah alamat bila Zon Jonggol menempatkan Muhammadiyah harus sama
      dengan NU, itu konyol namanya.Jadi sekarang ternyata memang NU
      mengerahkan anak buahnya guna merusak ormas lain yang tidak sejalan
      dengan NU, makanya Zon Jonggol ambisi merusak Muhammadiyah dengan
      tulisan tulisannya, jadi memang itulah usaha NU untuk merusak
      Muhammadiyah, menyuruh anak asuhnya Zon Jonggol melakukan serangan
      berupa tulisan janggal dan tidak jelas, saya akan berdiri sebagai
      penentang Zon Jonggol sebagai lawan selamanya, untuk mengomentari semua
      tulisannnya yang akal akalan

110 respons untuk ‘Pelecehan Sejarah Dan Tarjih Muhammadiyah Oleh Warga NU (Zon Jonggol), Aswaja Sarkub

  1. Bagian yang paling menarik dari tulisan di atas adalah pada bagian

    “Seolah Muhammadiyah harus sentralistik seperti KH, Ahmad Dahlan, yang dulu berqunut dn misalnya taraweh 23, sehingga disinilah letaknya kekeliruan besar Zon Jonggol, karena Kyai
    patokannya, bukan Quran dan Sunah. Sedangkan hadist yang dikutip Muhammadiyah itu sebagai ralat terhadap kesalahan KH Ahmad dahlan masa lalu, bukan kudeta. Karena pakar pakar ilmu hadist di Muhammadiyah itu tidak sedikit, bukan pakar kitab fiqih model NU tentunya yang hanya mengarahkan NU sesaui penuh dan sentralistik KH Hasyim Asy’ary, Muhammadiyah tidak pernah memasung umatnya, bahkan bisa membatah Tarjih Muhammadiyah bila terbukti Tarjih Muhammadiyah lemah argumentasinya.

    • terlepas dari apakah saya NU atau MuhammadNU, tutur kata Anda seperti anak yang baru mengenal Islam tadi pagi; kaku, kasar bin setengah merem. Andai semua orang Muhammadiyah seperti Anda, tentu Islam ini akan dipandang sebagai agama yang kasar dan bukan lagi agama yang sarat dengan budi pekerti yang luhur.

    • rupanya yang tak pernah anda paham manhaj tarjih itu bukan kauliyah standar yang dipakai adalah telaah, baik KH> Ahmad Dahlan atau sipapapun bukan tunduk pada perorang kayak di NU, Muhammadiyah menged\epankan ahlaq ilmiah, bukan retorika pendapat pendapat terlebih jika dikemudian hari lemah argumennya siapapun dia harus ditinggal, itu muhammadiyah. Tidak pernah terpenjara dengan pendapat seseorang

      • Dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/20/tetaplah-sebagai-ormas/ bahwa Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan sebuah sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.

        Jadi ketika sebuah jama’ah minal muslimin atau sebuah kelompok kaum muslim atau sebuah ormas menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal maka berubahlah menjadi sebuah sekte atau firqah.

        Syarat-syarat sebagai ahli istidlal adalah sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Muhammad Nuh Addawami sebagai berikut,

        *****awal kutipan *****
        a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).

        b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.

        c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.

        d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.

        e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.

        Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.

        Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:

        – Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
        – Imam Malik bin Anas;
        – Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
        – Imam Ahmad bin Hanbal.

        Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.

        Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).

        Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.

        Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.

        Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.

        Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
        ***** akhir kutipan *****

        Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.

        Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah [9]:100)

        Dari firmanNya tersebut dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh. Sedangkan orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh yang paling awal dan utama adalah Imam Mazhab yang empat.

        Memang ada mazhab yang lain selain dari Imam Mazhab yang empat namun pada kenyataannya ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang lain sudah sukar ditemukan pada masa kini.

        Tentulah kita mengikuti atau taqlid kepada Imam Mazhab yang empat dengan merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Imam Mazhab yang empat patut untuk diikuti oleh kaum muslim karena jumhur ulama telah sepakat dari dahulu sampai sekarang sebagai para ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat kaum muslim.

        Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.

        Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq, pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah

        Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

        Jadi kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau mengikuti Salafush Sholeh maka kita menemui dan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits”.

        Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat.

        Para ulama yang sholeh yang mengikuti dari Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.

        Jadi bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush Sholeh.

        Orang-orang yang meninggalkan Imam Mazhab yang empat memang sering mengungkapan pendapat seperti “kita harus mengikuti hadits shahih. Bukan mengikuti ulama. Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.

        Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.

        Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”

        Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” [“Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” 1/105]

        Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/

        Perlu kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah

        Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“

        Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/

      • Celakanya banyak anggota Muhammadiyah yang mengikuti arus pikiran spt anda dan berlagak spt yang paling nyunah paling alim dan berani berhujjah dan dan berfatwa tanpa ilmu agama yang cukup, bahkan ada teman saya yang berani mengatakan bahwa membaca Alquran itu tidak penting yang penting adalah membaca artinya saja, hmmm… itu tentu saja setelah dia berguru pada ulama Muhammadiyah, hebaat !

      • memang karakter orang muhammdiyah mayoritas kaku dan merasa paling benar sok modernis dan paling yakin surga nanti yang di masuki orang2 muhammdiyah

  2. Permasalahan dunia Islam pada masa sekarang adalah orang-orang yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” namun bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak dengan akal pikirannya sendiri sebagaimana contohnya Muhammad bin Abdul Wahhab

    Pada awalnya sanad guru (sanad ilmu) Muhammad bin Abdul Wahhab terjaga dengan bertalaqqi (mengaji) pada ulama yang mengikuti Imam Mazhab yang empat namun pada akhirnya Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah sebagaimana informasi dari kalangan mereka sendiri yang menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam seperti pada http://rizqicahya.wordpress.com/tag/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/

    ***** awal kutipan *****
    Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
    ***** akhir kutipan *****

    Begitupula dari biografi Ibnu Taimiyyah pun kita mengetahui bahwa beliau termasuk orang-orang yang memahami Al Qur’an dan as Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/

    ***** awal kutipan ******
    Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
    ***** akhir kutipan ******

    Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

    Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?

    Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)

    Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.

    Kesalahpahaman dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah dapat menimbulkan perselisihan dan bahkan kebencian sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/19/menimbulkan-kebencian/

    Contoh perselisihan dan bahkan kebencian karena masing-masing merasa pasti benar adalah apa yang mereka pertontonkan pada

    http://tukpencarialhaq.com/2013/07/14/parodi-rodja-bag-10-beking-dakwah-halabiyun-firanda-adalah-pendusta-besar/
    http://tukpencarialhaq.com/2013/08/06/parodi-rodja-13-menjawab-tantangan-dokter-dan-guru-besar-beladiri/
    http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/08/di-antara-mereka/

    Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga telah memperingatkan kita bahwa perselisihan timbul dari ulama bangsa Arab sendiri. Maksudnya perselisihan timbul dari orang-orang yang berkemampuan bahasa Arab yang berupaya mengambil hukum-hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah dari sudut arti bahasa saja.

    Saya (Khudzaifah Ibnul Yaman) bertanya ‘Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka!
    Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita.
    Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?
    Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka!
    Aku bertanya; kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana?
    Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok/ sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu. (HR Bukhari)

    Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36:“Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.

    Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang pada akhir zaman, orang-orang muda dan berpikiran sempit. Mereka senantiasa berkata baik. Mereka keluar dari agama Islam, sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. Mereka mengajak manusia untuk kembali kepada Al-Quran, padahal mereka sama sekali tidak mengamalkannya. Mereka membaca Al-Quran, namun tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka berasal dari bangsa kita (Arab). Mereka berbicara dengan bahasa kita (bahasa Arab). Kalian akan merasa shalat kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat mereka, dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan puasa mereka.”

    Pada umumnya orang-orang yang mendalami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak, memahaminya dari sudut arti bahasa dan istilah saja atau dikatakan mereka bermazhab dzahiriyyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) selalu berpegang pada nash secara dzahir atau makna dzahir sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/24/arti-bahasa-saja

    Hal yang perlu diketahui bahwa seseorang ketika menyatakan pendapat dengan berdalilkan Kitabullah, sabda Rasulullah atau perkataan para ulama terdahulu maka hal itu termasuk berijtihad

    Ketika seseorang menyampaikan dan menjelaskan Kitabullah, sabda Rasulullah maupun perkataan para ulama terdahulu maka hal itu termasuk berijtihad.

    Ketika seseorang menetapkan sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan atau sesuatu jika ditinggalkan berdosa atau sesuatu jika dikerjakan berdosa berdasarkan Kitabullah, sabda Rasulullah dan didukung dengan perkataan para ulama terdahulu maka hal itu termasuk beristinbat atau menggali hukum.

    Fatwa adalah berijtihad dan beristinbat. Jika seseorang berfatwa tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan

    Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).

    Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm~rahimahullah mengatakan

    ***** awal kutipan *****
    “rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab“ijtihad” adalah mengetahui naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya dengan melalui makna lahiriah (makna tersurat / makna dzahir) dari berita-berita yang ada. Demikianpula untuk menanggung bebannya tidaklah begitu sulit pelaksanananya.

    Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum-hukum dari makna yang tersirat dibalik nas-nas yang ada. Termasuk di antara penyelidikan yang menyangkut nas-nas tersebut adalah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah (makna dzahir) dan makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang terkandung didalamnya.

    Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada sebuah atsar yang bersumber dari Abu Abdur Rahman. ia telah menceritakan bahwa sahabat Ali ra, berjumpa dengan seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra bertanya kepadanya “Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan masukh?” Si Qadi tadi menjawab: “Tidak”. Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah orang yang celaka dan mencelakakan”
    ***** akhir kutipan *****

    Contohnya kepada orang Arab yang berprofesi sebagai pedagang yang tentunya berbahasa Arab atau paham bahasa Arab karena mengerti bahasa Arab atau dapat memahami berdasarkan arti bahasa, lalu kita serahkan kitab Al Qur’an dan kitab Hadits lengkap berikut penilaian ke-shahih-annya dari para ahli hadits.

    Tentunya pedagang Arab tersebut tidak akan berani berpendapat, berfatwa atau menyampaikan seputar aqidah (i’tiqod) berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri dengan kemampuan memahami berdasarkan arti bahasa saja.

    Dalam memahami Al Qur’an dan Hadits untuk keperluan beristinbat atau menggali hukum atau menetapkan sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan atau sesuatu jika ditinggalkan berdosa atau sesuatu jika dikerjakan berdosa berdasarkan Al Qur’an dan Hadits tidak cukup bermodalkan arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja

    Diperlukan ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu fiqih maupun ushul fiqih dan lain lain. Kalau tidak menguasai ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maka akan sesat dan menyesatkan.

    Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab beliau Qawaid Al Ahkam (2/337-339) sebagaimana diuraikan dalam tulisan pada http://syeikhnawawial-bantani.blogspot.com/2011/12/pembagian-bidah-menurut-imam-izzuddin.html menyatakan bahwa menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) adalah termasuk bid’ah hasanah dan hukumnya wajib. Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.
    Kompetensi selengkapnya jika ingin menggali langsung dari Al Qur’an dan As Sunnah adalah sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Muhammad Nuh Addawami sebagai berikut,

    ***** awal kutipan *****
    a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).

    b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.

    c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.

    d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.

    e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.

    Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.

    Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:

    – Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
    – Imam Malik bin Anas;
    – Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
    – Imam Ahmad bin Hanbal.

    Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.

    Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).

    Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.

    Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.

    Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.

    Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain
    ***** akhir kutipan *****

    Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.

    Orang-orang yang meninggalkan Imam Mazhab yang empat memang sering mengungkapan pendapat seperti “kita harus mengikuti hadits shahih. Bukan mengikuti ulama. Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.

    Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.

    Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”

    Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” [“Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” 1/105]

    Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/

    Perlu kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah

    Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“

    Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/

  3. kami bkn taklid k pd imam mahzab tp itba,perlu anda pahami antara taklid dn itiba,taklid orang yg mengikuti tnpa tau hukum dasar yg d ikuti dn itiba mereka mengikuti dg tau dasar hukum apa yg d ikuti bkn sekedar ikut2an.imam bukhori,imam nawawi,imam al ghozali dll mereka bermahzab ,sy ber mahzab syafii ketika sy berhaji sy pakai qoul lain umpama dlm berdesakan dg lain mahram batal wudu klo pakai qaol imam syafii tentu haji sy takan pernah selesai,klo anda berpikir nu kolot itu adalah gambaran pikiran anda.

  4. takutnya jon jonggol ini adalah spion syi’ah untuk memporak-porandakan islam dari dalam, dan ia masuk lini pengamanan yang besar di bawah barisan NU, sebab lini inilah yang akan mengacak-acak semuanya,… cuma ia tidak pakai bendera, yang di pakai bendera penyelamat, yaitu NU…..

  5. Menurut saya, zon jongol hanya menyebutkan apa yg ada, kalau anda bilang bahwa aliran NU itu katrok atau lainya.. Kok menurut sya anda malah kelihatan menumbuhkan benih2 kejelekan.
    Lebih baik datangi orangnya, itu kan lebih menunjukan bahwa anda org brpendidik.

  6. tidak usah jauh-jauh, dari tutur bahasa anda saja sudah cukup jelas, kalau anda baru kenal islam tadi sore. dan belum sempat belajar untuk apa rosulullah saw. diutus?belajar dulu ya! baru nanti ngomong.

  7. […] Bahkan salah satu pendukung majelis tarjih mengatakan bahwa pakar-pakar ilmu hadits di Muhammadiyah telah menunjukkan hadits-hadits yang meralat kesalahan KH Ahmad Dahlan masa lalu. Kyai maupun Imam Mazhab yang empat bukanlah patokan namun Al Qur’an dan As Sunnah, sumber yang juga dipakai oleh para imam-imam mazhab, terlebih imam-imam Mazhab tidak mengikat dan tidak pernah menuntut pengikutnya untuk mengikutinya. Tidak pernah ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak mengikuti mazhab adalah sesat sebagaimana yang mereka uraikan panjang lebar pada https://kudapanule.wordpress.com/2013/07/01/pelecehan-sejarah-dan-tarjih-muhammadiyah-oleh-warga-nu-z… […]

  8. […] Bahkan salah satu pendukung majelis tarjih mengatakan bahwa pakar-pakar ilmu hadits di Muhammadiyah telah menunjukkan hadits-hadits yang meralat kesalahan KH Ahmad Dahlan masa lalu. Kyai maupun Imam Mazhab yang empat bukanlah patokan namun Al Qur’an dan As Sunnah, sumber yang juga dipakai oleh para imam-imam mazhab, terlebih imam-imam Mazhab tidak mengikat dan tidak pernah menuntut pengikutnya untuk mengikutinya. Tidak pernah ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak mengikuti mazhab adalah sesat sebagaimana yang mereka uraikan panjang lebar pada https://kudapanule.wordpress.com/2013/07/01/pelecehan-sejarah-dan-tarjih-muhammadiyah-oleh-warga-nu-z… […]

  9. […] Bahkan salah satu pendukung majelis tarjih mengatakan bahwa pakar-pakar ilmu hadits di Muhammadiyah telah menunjukkan hadits-hadits yang meralat kesalahan KH Ahmad Dahlan masa lalu. Kyai maupun Imam Mazhab yang empat bukanlah patokan namun yang menjadi patokan adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sumber yang juga dipakai oleh para imam-imam mazhab, terlebih imam-imam Mazhab tidak mengikat dan tidak pernah menuntut pengikutnya untuk mengikutinya. Tidak pernah ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak mengikuti mazhab adalah sesat sebagaimana yang mereka uraikan panjang lebar pada https://kudapanule.wordpress.com/2013/07/01/pelecehan-sejarah-dan-tarjih-muhammadiyah-oleh-warga-nu-z… […]

  10. […] Bahkan salah satu pendukung majelis tarjih mengatakan bahwa pakar-pakar ilmu hadits di Muhammadiyah telah menunjukkan hadits-hadits yang meralat kesalahan KH Ahmad Dahlan masa lalu. Kyai maupun Imam Mazhab yang empat bukanlah patokan namun yang menjadi patokan adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sumber yang juga dipakai oleh para imam-imam mazhab, terlebih imam-imam Mazhab tidak mengikat dan tidak pernah menuntut pengikutnya untuk mengikutinya. Tidak pernah ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak mengikuti mazhab adalah sesat sebagaimana yang mereka uraikan panjang lebar pada https://kudapanule.wordpress.com/2013/07/01/pelecehan-sejarah-dan-tarjih-muhammadiyah-oleh-warga-nu-z… […]

  11. […] Bahkan salah satu pendukung majelis tarjih mengatakan bahwa pakar-pakar ilmu hadits di Muhammadiyah telah menunjukkan hadits-hadits yang meralat kesalahan KH Ahmad Dahlan masa lalu. Kyai maupun Imam Mazhab yang empat bukanlah patokan namun yang menjadi patokan adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sumber yang juga dipakai oleh para imam-imam mazhab, terlebih imam-imam Mazhab tidak mengikat dan tidak pernah menuntut pengikutnya untuk mengikutinya. Tidak pernah ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak mengikuti mazhab adalah sesat sebagaimana yang mereka uraikan panjang lebar pada https://kudapanule.wordpress.com/2013/07/01/pelecehan-sejarah-dan-tarjih-muhammadiyah-oleh-warga-nu-z… […]

  12. […] Bahkan salah satu pendukung majelis tarjih mengatakan bahwa pakar-pakar ilmu hadits di Muhammadiyah telah menunjukkan hadits-hadits yang meralat kesalahan KH Ahmad Dahlan masa lalu. Kyai maupun Imam Mazhab yang empat bukanlah patokan namun yang menjadi patokan adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sumber yang juga dipakai oleh para imam-imam mazhab, terlebih imam-imam Mazhab tidak mengikat dan tidak pernah menuntut pengikutnya untuk mengikutinya. Tidak pernah ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak mengikuti mazhab adalah sesat sebagaimana yang mereka uraikan panjang lebar pada https://kudapanule.wordpress.com/2013/07/01/pelecehan-sejarah-dan-tarjih-muhammadiyah-oleh-warga-nu-z… […]

  13. […] Bahkan salah satu pendukung majelis tarjih mengatakan bahwa pakar-pakar ilmu hadits di Muhammadiyah telah menunjukkan hadits-hadits yang meralat kesalahan KH Ahmad Dahlan masa lalu. Kyai maupun Imam Mazhab yang empat bukanlah patokan namun yang menjadi patokan adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sumber yang juga dipakai oleh para imam-imam mazhab, terlebih imam-imam Mazhab tidak mengikat dan tidak pernah menuntut pengikutnya untuk mengikutinya. Tidak pernah ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak mengikuti mazhab adalah sesat sebagaimana yang mereka uraikan panjang lebar pada https://kudapanule.wordpress.com/2013/07/01/pelecehan-sejarah-dan-tarjih-muhammadiyah-oleh-warga-nu-z… […]

  14. […] Bahkan salah satu pendukung majelis tarjih mengatakan bahwa pakar-pakar ilmu hadits di Muhammadiyah telah menunjukkan hadits-hadits yang meralat kesalahan KH Ahmad Dahlan masa lalu. Kyai maupun Imam Mazhab yang empat bukanlah patokan namun yang menjadi patokan adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sumber yang juga dipakai oleh para imam-imam mazhab, terlebih imam-imam Mazhab tidak mengikat dan tidak pernah menuntut pengikutnya untuk mengikutinya. Tidak pernah ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak mengikuti mazhab adalah sesat sebagaimana yang mereka uraikan panjang lebar pada https://kudapanule.wordpress.com/2013/07/01/pelecehan-sejarah-dan-tarjih-muhammadiyah-oleh-warga-nu-z… […]

  15. […] Bahkan salah satu pendukung majelis tarjih mengatakan bahwa pakar-pakar ilmu hadits di Muhammadiyah telah menunjukkan hadits-hadits yang meralat kesalahan KH Ahmad Dahlan masa lalu. Kyai maupun Imam Mazhab yang empat bukanlah patokan namun yang menjadi patokan adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sumber yang juga dipakai oleh para imam-imam mazhab, terlebih imam-imam Mazhab tidak mengikat dan tidak pernah menuntut pengikutnya untuk mengikutinya. Tidak pernah ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak mengikuti mazhab adalah sesat sebagaimana yang mereka uraikan panjang lebar pada https://kudapanule.wordpress.com/2013/07/01/pelecehan-sejarah-dan-tarjih-muhammadiyah-oleh-warga-nu-z… […]

  16. […] Bahkan salah satu pendukung majelis tarjih mengatakan bahwa pakar-pakar ilmu hadits di Muhammadiyah telah menunjukkan hadits-hadits yang meralat kesalahan KH Ahmad Dahlan masa lalu. Kyai maupun Imam Mazhab yang empat bukanlah patokan namun yang menjadi patokan adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sumber yang juga dipakai oleh para imam-imam mazhab, terlebih imam-imam Mazhab tidak mengikat dan tidak pernah menuntut pengikutnya untuk mengikutinya. Tidak pernah ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak mengikuti mazhab adalah sesat sebagaimana yang mereka uraikan panjang lebar pada https://kudapanule.wordpress.com/2013/07/01/pelecehan-sejarah-dan-tarjih-muhammadiyah-oleh-warga-nu-z… […]

  17. […] Bahkan salah satu pendukung majelis tarjih mengatakan bahwa pakar-pakar ilmu hadits di Muhammadiyah telah menunjukkan hadits-hadits yang meralat kesalahan KH Ahmad Dahlan masa lalu. Kyai maupun Imam Mazhab yang empat bukanlah patokan namun yang menjadi patokan adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sumber yang juga dipakai oleh para imam-imam mazhab, terlebih imam-imam Mazhab tidak mengikat dan tidak pernah menuntut pengikutnya untuk mengikutinya. Tidak pernah ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak mengikuti mazhab adalah sesat sebagaimana yang mereka uraikan panjang lebar pada https://kudapanule.wordpress.com/2013/07/01/pelecehan-sejarah-dan-tarjih-muhammadiyah-oleh-warga-nu-z… […]

  18. Jika kita mengatakan si fulan salah dan si fulanlah yg benar, kita tidak akan pernah mendapatkan jawabannya…

    Bagaikan orang-orang mengatakan suatu kelezatan dari suatu makanan, maka jawaban akan berbeda. Ada yg mengatakan yg manis yg lezat dan yg lain sebaliknya, adapula yg mengatakan yg pedas yg lezat dan adapula sebaliknya….
    Akan tetapi ketika kita mengatakan yg mana yg dapat menimbulkan penyakit, kita rasa kita sepakat akan hal itu…

    Jadi intinya jalankan perintahnya dan jauhi larangannya…
    Jangan kita lihat perbedaan kita, lihat persamaan kita kalau kita “umat islam” mau bersatu untuk menegakkan kalimat Allah (bukan islam garis keras)

  19. Keberagaman pemikiran dalam umat Islam yang bersumber Al Qur’an dan As Sunnah adalah bukti umat Islam itu enerjik, cinta kebenaran, dan bukan umat jahiliyyah. Terpenting, sesama umat Islam wajib menjaga ikatan emosional bahwa kita bersaudara dan jauhi sikap yang tidak mencerminkan Akhlakul Karimah. Merebut kebenaran itu WAJIB setiap Muslim dan berbeda pendapat BOLEH. Yang harus dihindari adalah pendapat yang berbeda dengan Al Qur’an dan As Sunnah. JANGAN SAMPAI…..

Tinggalkan Balasan ke Bagaikan buih | Mutiara Zuhud - Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu Batalkan balasan